Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI KAIRO, MESIR, 29 April 2017

Bacaan Ekaristi : Kis 2:14,22-33; Mzm 16:1-2a,5,7-8,9-10,11; 1Ptr 1:17-21; Luk 24:13-35

Assalamu'alaikum! Damai selalu besertamu!

Injil hari Minggu Paskah III ini berbicara kepada kita tentang perjalanan menuju Emaus dari kedua murid yang berangkat dari Yerusalem. Injil ini dapat disimpulkan dalam tiga kata : kematian, kebangkitan dan kehidupan.

Kematian. Kedua murid sedang kembali, penuh keputusasaan dan kekecewaan, ke kehidupan seperti biasanya. Sang Guru sudah wafat dan karenanya tidak ada harapan. Mereka merasa kecewa dan putus asa. Perjalanan mereka adalah sebuah perjalanan kembali, ketika mereka meninggalkan pengalaman penyaliban Yesus yang menyakitkan. Krisis salib, sesungguhnya "skandal" dan "kebodohan" salib (bdk. 1 Kor 1:18,2:2), tampaknya telah mengubur harapan apapun yang mereka miliki. Orang yang kepada-Nya mereka telah membangun kehidupan mereka sudah wafat; dalam kekalahan-Nya, Ia membawa seluruh cita-cita mereka bersama-Nya ke kubur.

Mereka tidak dapat percaya bahwa Sang Guru dan Sang Juruselamat mereka, yang telah membangkitkan orang lain dari antara orang mati dan menyembuhkan orang sakit, akhirnya akan tergantung di kayu salib penistaan. Mereka tidak dapat memahami mengapa Allah yang Mahakuasa tidak menyelamatkan diri-Nya dari kematian yang begitu memalukan itu. Salib Kristus adalah salib gagasan-gagasan mereka sendiri tentang Allah; wafat Kristus adalah wafat dari apa yang mereka pikirkan tentang Allah. Tetapi sebenarnya, merekalah yang telah wafat, dimakamkan di dalam kubur pemahaman mereka yang terbatas.

Seberapa sering kita melumpuhkan diri kita sendiri dengan menolak untuk mengatasi gagasan-gagasan kita sendiri tentang Allah, seorang allah yang diciptakan menurut gambar dan rupa manusia! Seberapa sering kita putus asa dengan menolak untuk percaya bahwa kemahakuasaan Allah bukanlah satu kekuatan dan kewenangan, melainkan kasih, pengampunan dan kehidupan!

Murid-murid mengenali Yesus dalam "pemecahan roti", dalam Ekaristi. Jika kita tidak merobek kerudung yang mengaburkan daya pandang kita dan menghancurkan kekerasan hati dan prasangka kita, kita tidak akan pernah bisa mengenali wajah Allah.

Kebangkitan. Dalam kegelapan malam mereka yang paling gelap, pada saat keputusasaan mereka yang terbesar, Yesus mendekati kedua murid itu dan berjalan di samping mereka, untuk membuat mereka melihat bahwa Dialah "Jalan, Kebenaran dan Hidup" (Yoh 14:6). Yesus mengubah keputusasaan mereka menjadi kehidupan, karena ketika harapan manusia lenyap, harapan ilahi mulai bersinar sebagai gantinya. "Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah" (Luk 18:27; bdk. 1:37). Ketika kita mencapai kedalaman kegagalan dan ketidakberdayaan, ketika kita melepaskan diri kita dari khayalan bahwa kita adalah yang terbaik, cukup untuk diri kita sendiri dan pusat dunia kita, maka Allah mengulurkan tangan kepada kita untuk mengalihkan malam kita menjadi fajar, kesusahan kita menjadi sukacita, kematian kita menjadi kebangkitan. Ia memutarbalikkan langkah kita menuju Yerusalem, memutarbalikkan menuju kehidupan dan menuju kemenangan Salib (bdk. Ibr 11:34).

Setelah bertemu dengan Tuhan Yang Bangkit, kedua murid itu kembali dipenuhi dengan sukacita, percaya diri dan antusiasme, siap untuk bersaksi. Dia yang Bangkit membuat mereka bangkit dari kubur ketidakpercayaan mereka dan kesedihan mereka. Berjumpa Tuhan, yang disalibkan dan bangkit, mereka menemukan makna dan penggenapan keseluruhan Kitab Suci, Hukum Taurat dan para nabi. Mereka menemukan makna kekalahan salib yang terang benderang.

Mereka yang tidak lulus dari pengalaman salib menuju kebenaran kebangkitan mengutuk diri mereka sendiri berputus asa! Karena kita tidak dapat berjumpa Allah tanpa pertama-tama menyalibkan pengartian-pengartian kita yang sempit tentang seorang allah yang hanya mencerminkan pemahaman kemahakuasaan dan kekuatan kita sendiri.

Kehidupan. Perjumpaan dengan Yesus yang Bangkit mengubah kehidupan kedua murid karena bertemu Dia yang Bangkit mengubah setiap kehidupan, dan menjadikan berbuah apa yang gersang (bdk. Benediktus XVI, Audiensi Umum, 11 April 2007). Iman dalam kebangkitan bukanlah sebuah bikinan Gereja, namun Gereja sendiri lahir dari iman dalam kebangkitan. Seperti yang dikatakan Santo Paulus : "Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu" (1 Kor 15:14).

Tuhan Yang Bangkit lenyap dari pandangan para murid untuk mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak dapat berpegang pada Yesus saat ia muncul dalam sejarah : "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya" (Yoh 20:29; bdk. 20:17). Gereja perlu memahami dan percaya bahwa Yesus hidup di dalam dirinya dan memberinya kehidupan dalam Ekaristi, kitab suci dan sakramen-sakramen. Murid-murid dalam perjalanan ke Emaus menyadari hal ini, dan kembali ke Yerusalem untuk berbagi pengalaman mereka dengan orang lain : "Kami telah melihat Dia yang Bangkit ... Ya, Ia sungguh bangkit!" (bdk. Luk 24:32).

Pengalaman para murid dalam perjalanan menuju Emaus mengajarkan kita bahwa tidak ada gunanya memenuhi tempat ibadah kita jika hati kita tiada rasa takut akan Allah dan kehadiran-Nya. Tidak ada gunanya berdoa jika doa kita kepada Allah tidak berubah menjadi kasih bagi saudara dan saudari kita. Seluruh keagamaan kita tidak berarti apa-apa kecuali jika diilhami oleh iman dan cinta kasih yang mendalam. Tidak ada gunanya memikirkan gambaran kita, karena Allah melihat jiwa dan hati (bdk. 1 Sam 16:7) dan Ia membenci kemunafikan (bdk. Luk 11:37-54; Kis 5:3,4 )[1]. Bagi Allah, lebih baik tidak percaya daripada menjadi orang beriman yang salah, orang munafik!

Iman yang benar adalah iman yang membuat kita lebih bercinta kasih, lebih penuh kerahiman, lebih jujur dan lebih manusiawi. Ia menggerakkan hati kita untuk mengasihi semua orang tanpa menghitung-hitung biaya, tanpa perbedaan dan tanpa kecenderungan. Ia membuat kita melihat orang lain bukan sebagai seorang musuh untuk dikalahkan, tetapi saudara atau saudari untuk dikasihi, dilayani dan dibantu. Ia memacu kita untuk menyebarkan, membela dan menjalani budaya perjumpaan, dialog, rasa hormat dan persaudaraan. Ia memberi kita keberanian untuk mengampuni orang-orang yang telah melukai hati kita, mengulurkan tangan kepada orang yang jatuh, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi makan orang yang kelaparan, mengunjungi orang yang terpenjara, menolong anak yatim, memberi minum kepada orang yang kehausan, dan datang untuk membantu lansia dan orang yang membutuhkan (bdk. Mat 25). Iman yang benar menuntun kita untuk melindungi hak-hak orang lain dengan semangat dan antusiasme yang sama yang dengannya kita membela diri kita sendiri. Memang, semakin kita bertumbuh dalam iman dan pengetahuan, semakin kita bertumbuh dalam kerendahan hati dan dalam kesadaran akan kekecilan kita.

Saudara dan saudari terkasih,

Allah senang hanya oleh iman yang diwartakan dengan kehidupan kita, karena satu-satunya fanatisme yang bisa dimiliki orang-orang percaya adalah fanatisme cinta kasih! Seluruh fanatisme lainnya tidak berasal dari Allah dan tidak menyenangkan Dia!

Jadi sekarang, seperti murid-murid Emaus, dipenuhi dengan sukacita, keberanian dan iman, kembalilah ke Yerusalem kalian sendiri, yaitu ke kehidupan kalian sehari-hari, keluarga-keluarga kalian, karya kalian dan negara kalian yang tercinta. Janganlah takut untuk membuka hati kalian terhadap terang Tuhan yang Bangkit, dan biarkanlah Ia mengubah ketidakpastian kalian menjadi kekuatan positif bagi diri kalian dan bagi orang lain. Janganlah takut untuk mengasihi semua orang, sahabat maupun musuh, karena kekuatan dan khazanah orang beriman terletak pada kehidupan kasih!

Semoga Bunda Kita dan Keluarga Kudus, yang tinggal di tanah kalian yang dihormati ini, mencerahkan hati kita dan memberkati kalian dan negara Mesir yang tercinta ini, yang pada awal kekristenan menyambut pemberitaan Santo Markus, dan sepanjang sejarahnya telah melahirkan begitu banyak martir dan banyak pria dan wanita yang kudus.

Al Masih qam! Bi-l-haqiqa qam!

Kristus telah bangkit! Ia sungguh bangkit!

[1] Santo Efraim berseru : "Cukup merobek topeng yang menutupi orang munafik dan kamu hanya akan melihat korupsi" (Khotbah). "Celakalah mereka yang memiliki hati ganda", kata Ecclesiasticus (2:14, Vulgata).

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.