Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI WILAYAH PELABUHAN CARTAGENA (KOLOMBIA) 10 September 2017 : MARTABAT DAN HAK ASASI MANUSIA


Bacaan Ekaristi : Yeh. 33:7-9; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; Rm. 13:8-10; Mat. 18:15-20

Di kota ini, yang telah disebut "heroik" karena kegigihannya dalam mempertahankan kebebasan dua ratus tahun yang lalu, saya merayakan Misa penutup kunjungan saya ke Kolombia. Selama tiga puluh dua tahun terakhir Cartagena de Indias juga merupakan kantor pusat di Kolombia untuk Hak Asasi Manusia. Karena di sini orang-orang menyimpan dalam hati kenyataan bahwa, "berkat tim misioner yang dibentuk oleh para imam Yesuit Petrus Claver y Corberó dan Alonso de Sandoval serta Bruder Yesuit Nicolás González, yang didampingi oleh banyak warga kota Cartagena de Indias pada abad ketujuh belas, keinginan terlahir untuk meringankan situasi orang-orang yang tertindas pada masa itu, terutama para budak, mereka yang memohon perlakuan dan kebebasan yang adil" (Kongres Kolombia 1985, hukum 95, pasal 1).


Di sini, di Tempat Suci Santo Petrus Claver, di mana kemajuan dan penerapan hak asasi manusia di Kolombia terus dipelajari dan dipantau secara sistematik, Sabda Allah berbicara kepada kita tentang pengampunan, pembetulan, jemaat dan doa.

Dalam khotbah keempat Injil Matius, Yesus berbicara kepada kita, yang telah memutuskan untuk mendukung jemaat, kepada kita, yang menghargai hidup bersama dan memimpikan sebuah rancangan yang mencakup semua orang. Teks sebelumnya adalah teks tentang gembala yang baik yang meninggalkan sembilan puluh sembilan domba untuk mencari seekor domba yang hilang. Fakta ini mencakup keseluruhan teks : tak seorang pun juga terlewatkan mendapatkan perawatan kita, kedekatan kita dan pengampunan kita. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh satu orang menantang kita semua, namun melibatkan, terutama, korban dosanya. Ia dipanggil untuk mengambil prakarsa sehingga siapapun yang menyebabkan kejahatan tidak hilang.

Selama beberapa hari terakhir ini, saya telah mendengar banyak kesaksian dari mereka yang telah mengulurkan tangan kepada orang-orang yang telah menyakiti mereka; luka-luka yang mengerikan yang bisa saya lihat di tubuh mereka sendiri; kehilangan yang tak dapat diperbaiki yang masih membawa air mata. Namun mereka telah mengulurkan tangan, telah mengambil langkah pertama pada jalan yang berbeda dengan jalan yang sudah ditempuh. Selama beberapa dekade Kolombia merindukan perdamaian tetapi, seperti yang Yesus ajarkan, kedua belah pihak saling mendekat untuk berdialog tidaklah cukup; juga perlu melibatkan lebih banyak pelaku dalam dialog ini yang bertujuan untuk penyembuhan dosa. Tuhan mengatakan kepada kita di dalam Injil: "Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi" (Mat 18:16).

Kita telah belajar bahwa cara membuat perdamaian, cara menempatkan alasan di atas balas dendam, cara keselarasan yang lembut antara politik dan hukum ini, tidak dapat mengabaikan keterlibatan orang-orang. Perdamaian tidak dicapai dengan kerangka normatif dan pengaturan kelembagaan antara kelompok politik atau ekonomi yang bermaksud baik. Yesus menemukan penyelesaian atas kerugian yang ditimbulkan melalui sebuah perjumpaan pribadi antara berbagai pihak. Selalu membantu, apalagi, memasukkan ke dalam proses perdamaian kita pengalaman sektor-sektor yang sering terabaikan ini, sehingga jemaat itu sendiri dapat mempengaruhi perkembangan ingatan bersama. "Penulis utama, subjek sejarah dari proses ini, adalah orang-orang secara keseluruhan dan budaya mereka, dan bukan satu-satunya kelas, minoritas, kelompok atau elit. Kita tidak memerlukan rencana yang disusun oleh beberapa orang untuk beberapa orang, atau minoritas tercerahkan atau terang-terangan yang mengklaim dapat berbicara untuk semua orang. Ini tentang menyetujui untuk hidup bersama, sebuah pakta sosial dan budaya" (bdk. Evangelii Gaudium, 239).

Kita dapat memberikan sumbangsih yang besar terhadap langkah baru yang ingin diambil oleh Kolombia ini. Yesus mengatakan kepada kita bahwa jalan perpaduan ulang ke dalam jemaat ini dimulai dengan dialog dua pribadi. Tidak ada yang bisa menggantikan perjumpaan penyembuhan tersebut; tidak ada proses kolektif yang membuat kita keberatan dengan pertemuan, penjelasan, pengampunan. Dalamnya luka-luka bersejarah tentu membutuhkan saat-saat di mana keadilan dilakukan, di mana para korban diberikan kesempatan untuk mengenal kebenaran, di mana kerusakan diperbaiki secara memadai dan komitmen yang jelas dilakukan untuk menghindari pengulangan kejahatan-kejahatan tersebut. Tetapi itu hanya awal dari tanggapan kristiani. Kita diminta untuk menghasilkan "dari bawah" sebuah perubahan dalam budaya: sehingga kita menanggapi budaya kematian dan kekerasan, dengan budaya kehidupan dan perjumpaan. Kita telah mempelajari hal ini dari penulis kalian tercinta yang kita semua manfaatkan : "Bencana budaya ini tidak diperbaiki dengan timbal atau perak, namun dengan pendidikan untuk perdamaian, yang dibangun dengan penuh kasih di atas puing-puing sebuah negara yang murka di mana kita bangun lebih awal untuk terus saling membunuh ... sebuah revolusi damai yang sah yang menyalurkan kepada kehidupan energi yang berdaya cipta yang sangat besar yang selama hampir dua abad telah kita gunakan untuk menghancurkan diri kita dan yang membenarkan dan mengagungkan keunggulan khayalan" (Gabriel García Márquez, Pesan mengenai Perdamaian, 1998).

Seberapa banyak kita bekerja untuk sebuah perjumpaan, untuk perdamaian? Seberapa banyak kita telah melupakan, membiarkan kebiadaban mewujud dalam kehidupan rakyat kita? Yesus memerintahkan kita untuk menghadapi jenis perilaku tersebut, cara hidup yang merusak masyarakat dan menghancurkan masyarakat ini. Berapa kali kita "melumrahkan" nalar kekerasan dan pengucilan sosial, tanpa secara kenabian mengangkat tangan atau suara kita! Di samping Santo Petrus Claver berada ribuan orang kristiani, banyak dari mereka kaum religius ... tetapi hanya segelintir yang memulai gerakan perjumpaan kontra-budaya. Santo Petrus mampu memulihkan martabat dan pengharapan ratusan ribu orang dan budak kulit hitam yang tiba dalam keadaan yang benar-benar tidak manusiawi, penuh ketakutan, dengan hilangnya segala pengharapan mereka. Ia tidak memiliki kecakapan akademis yang bergengsi, dan ia bahkan mengatakan tentang dirinya sendiri bahwa ia "biasa-biasa saja" dalam hal kecerdasan, tetapi ia memiliki kejeniusan untuk menjalankan Injil secara keseluruhan, bertemu dengan orang-orang yang dianggap orang lain sebagai benda tak berguna. Berabad-abad kemudian, jejak misionaris dan rasul Serikat Yesus ini diikuti oleh Santa María Bernarda Bütler, yang mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin dan orang-orang terlantar di kota Cartagena yang sama ini.[1]

Dalam perjumpaan di antara kita, kita menemukan kembali hak-hak kita, dan kita menciptakan kembali kehidupan kita sehingga kehidupan tersebut muncul kembali sebagai benar-benar manusiawi. "Tempat tinggal bersama seluruh pria dan wanita harus terus memunculkan dasar-dasar pemahaman yang benar tentang persaudaraan semesta dan penghormatan terhadap kesucian setiap kehidupan manusia, kehidupan setiap pria dan setiap wanita, kaum miskin, kaum lansia, anak-anak, kaum lemah, bayi-bayi yang belum lahir, para tuna karya, orang-orang yang terlantar, orang-orang yang dianggap sekali pakai karena mereka hanya dianggap sebagai bagian dari sebuah statistik. Tempat tinggal bersama seluruh pria dan wanita ini juga harus dibangun berdasarkan pemahaman tentang kesucian tertentu dari alam yang tercipta" (Wejangan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, 25 September 2015).

Yesus juga menunjukkan kepada kita kemungkinan bahwa orang lain mungkin tetap tertutup, menolak untuk berubah, bertahan dalam kejahatan. Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada orang-orang yang bertahan dalam dosa-dosa yang merusak jalinan hidup berdampingan dan jemaat kita : "Saya juga memikirkan drama penyalahgunaan narkoba yang mematahkan hati, yang menuai keuntungan dalam penghinaan terhadap hukum moral dan sipil. Saya memikirkan kehancuran sumber daya alam dan polusi yang terus berlanjut, serta tragedi eksploitasi tenaga kerja. Saya juga memikirkan perdagangan uang dan spekulasi keuangan yang melanggar hukum, yang sering terbukti ganas dan berbahaya bagi keseluruhan sistem perekonomian dan sosial, yang menelanjangi jutaan pria dan wanita terhadap kemiskinan. Saya memikirkan pelacuran, yang setiap hari menuai korban yang tidak bersalah, terutama kaum muda, merampok masa depan mereka. Saya memikirkan kekejaman perdagangan manusia, kejahatan dan perlakuan kejam terhadap anak di bawah umur, kengerian perbudakan masih ada di berbagai bagian dunia; tragedi yang sering terabaikan dari para migran, yang sering menjadi korban manipulasi yang memalukan dan ilegal" (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2014, 8), dan bahkan dengan "legalitas mandul" yang tidak bisa dibenarkan yang mengabaikan tubuh saudara dan saudari kita, tubuh Kristus. Kita juga harus dipersiapkan untuk hal ini, dan dengan kokoh mendasarkan diri kita pada prinsip-prinsip keadilan yang sama sekali tidak mengurangi cinta kasih. Hanyalah mungkin hidup damai dengan menghindari tindakan-tindakan yang merusak atau membahayakan kehidupan. Dalam konteks ini, kita mengingat semua orang yang, dengan berani dan tanpa kenal lelah, telah bekerja dan bahkan kehilangan nyawa mereka dalam membela dan melindungi hak dan martabat pribadi manusia. Sejarah meminta kita merangkul sebuah komitmen yang pasti untuk membela hak asasi manusia, di sini di Cartagena de Indias, tempat yang telah kalian pilih sebagai tempat kedudukan nasional pembelaan mereka.

Akhirnya, Yesus meminta kita untuk berdoa bersama, agar doa kita, bahkan dengan nuansa pribadi dan penekanannya yang berbeda, menjadi simfoni dan muncul sebagai satu tangisan tunggal. Saya yakin bahwa hari ini kita berdoa bersama untuk menyelamatkan orang-orang yang bersalah dan bukan karena kehancuran mereka, untuk keadilan dan bukan balas dendam, untuk penyembuhan yang sesungguhnya dan bukan untuk penglupaan. Kita berdoa untuk menggenapi tema kunjungan ini : "Mari kita mengambil langkah pertama!" Dan semoga langkah pertama ini menuju arah yang sama.

"Mengambil langkah pertama" adalah, terutama, pergi keluar dan bertemu orang lain dengan Kristus Tuhan. Dan Ia selalu meminta kita untuk mengambil langkah yang pasti dan menentukan terhadap saudara dan saudari kita, dan melepaskan tuntutan kita untuk diampuni tanpa menunjukkan pengampunan, dikasihi tanpa menunjukkan kasih. Jika Kolombia menginginkan perdamaian yang langgeng dan abadi, Kolombia harus segera mengambil langkah ke arah ini, yaitu arah kebaikan bersama, arah kewajaran, arah keadilan, arah penghormatan terhadap kodrat manusia dan tuntutan-tuntutannya. Hanya jika kita membantu melepaskan simpul kekerasan, akankah kita mengurai benang perselisihan yang rumit. Kita diminta mengambil langkah pertemuan dengan saudara dan saudari kita, dan mengambil resiko pembetulan yang tidak ingin mencampakkan tetapi memadukan. Dan kita diminta untuk bersikap tegas dalam hal yang tidak dapat dikompromikan. Singkatnya, permintaannya adalah membangun perdamaian, "berbicara bukan dengan lidah tetapi dengan tangan dan karya" (Santo Petrus Claver), dan menengadah ke surga bersama-sama. Tuhan dapat melepaskan apa yang tampaknya tidak mungkin bagi kita, dan Ia telah berjanji untuk menyertai kita sampai akhir zaman, dan akan membuahkan hasil seluruh usaha kita.


[1]Santa María Bernarda Bütler juga memiliki hikmat cinta kasih dan tahu bagaimana menemukan Allah dalam diri sesamanya; ia juga tidak dilumpuhkan oleh ketidakadilan dan tantangan, karena "saat timbul perselisihan, beberapa orang kerap hanya menempatkan diri sebagai penonton lalu pergi begitu saja seakan-akan tidak terjadi apapun. Mereka mencuci tangannya lalu melanjutkan urusan hidupnya sendiri. Pribadi yang lain ikut masuk ke dalam perselisihan itu sedemikian intensif sehingga terpenjara di dalamnya. Akibatnya, mereka kehilangan arah tujuan. Mereka sangat terpengaruh kekacauan tersebut sehingga menimbulkan kekacauan dan kekecewaan dalam dirinya sendiri terhadap lembaga-lembaga. Akibatnya, keselarasan dirinya dan lingkungan sekitarnya menjadi mustahil. Akan tetapi, ada juga jalan ketiga yang merupakan jalan terbaik untuk menangani perselisihan, yaitu kesediaan untuk menghadapi perselisihan, menyelesaikannya, dan menghubungkannya dengan suatu proses baru" (Evangelii Gaudium, 227).

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.